Posted by: danummurik | November 17, 2019

Makan Nasi Jepang

Saya menghela nafas sambil makan, bukan karena makanan tapi cerita dua orang Profesor ini tentang rasa makanan nasi di luar negeri. Prof Rizali Hadi yang setiap tahun melanglang buana entah keperluan pribadi maupun perjalanan dinas, menceritakan soal nasi di Eropa maupun di Asia.

20191116_185423

Saya lebih menyimak bagaimana cita rasa nasi yang sangat lezat di Jepang “benar-benar berkualitas” kata beliau. Jangan lupa, jika Jepang selama ini dalam pandangan umum lebih dominan dengan teknologi, sebenarnya Jepang tidak meninggalkan jati dirinya sebagai negara agraris.

“Nasi di Jepang justru dari beras atau padi organis” terang beliau. Maka teknologi maju, pertanian pun makin berkualitas di negara ke kaisaran ini.

Prof Ersis mengaminkan pernyataan beliau, apalagi pengalaman beliau ke berbagai negara ditambahkan lidah Minangnya tentu mudah sekali menilai kualitas makanan. Sampai di sini saya lantas terfikir dua hal.

Pertama, kita cenderung melupakan akar bangsa. Kemajuan teknologi seolah mengkonversi tradisi menjadi modern. Pertanian mulai ditinggalkan berganti kebun sawit. Dulu petani berlimpah ladi atau beras, sanggup untuk menjaga ketahanan pangan keluarga hingga panen tahun depan.

Kedua, sayang seribu kali sayang, kita cenderung memproduksi hal yang berkualitas rendah. Padi atau beras memang berkualitas premium, tapi tidak diolah dan dipasarkan secara premium pula.

Saya teringat riset dosen saya tentang perkebunan teh. Rupanya teh nomor satu Indonesia di ekspor ke Eropa, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri adalah teh kualitas nomor enam saja.

Saya menyampaikan ke Pak Ersis, yang kemarin kami berdiskusi tentang ada tidaknya armada laut imperium Banjar, bahwa kita masih berwatak inlander. Artinya produk anak negeri masih rendah kualitasnya atau sengaja memproduksi barang berkualitas rendah.

Namun setidaknya, ketika pulang le rumah, saya masih menyimpan siam unus beras premium lokal yang masih bertahan sampai sekarang.

Bandara internasional Jendral Ahmad Yani, Semarang, menjelang keberangkatan ke Banjarmasin

 

 

 

Posted by: danummurik | January 22, 2018

HIKAYAT LIMA HUSNUL FATA FROM JAMBU BARU

“Husnul Fata itu artinya pemuda baik-baik, boi” kata temanku dengan logat Bugisnya yang kental sambil memperlihatkan papan nama bertulis kaligrafi. Belakangan dia menambahkan penjelasan, artinya pemuda yang memiliki kebaikan-kebaikan. Temanku ini alumni pesantren Gontor, hafal Quran 30 juz dan juga tamatan IAIN Sunan Kalijaga, kami satu kost dan juga satu kampus. Selain dia, masih ada dua orang teman lagi. Intinya kami berempat menempati satu rumah yang dihuni satu kamar per orang. Ada satu  ruang terbuka yang awalnya berfungsi sebagai gudang buku-buku di rumah kost kami. Sejak bulan ramadhan, gudang itu kami fungsikan menjadi musholla dan teman saya ini menamai musholla Husnul Fata atau pemuda baik-baik. Maklum saja, kami masih pemuda dan setidaknya berupaya menjadi pemuda baik-baik. Temanku itu pula sering menjadi imam musholla Husnul Fata. Konon kalau ia kembali ke kampung halamannya di tanah Bugis, dia menjadi imam masjid dan selalu mengisi ceramah terutama setiap bulan ramadhan. Adapun dua orang teman yang lain dikemudian hari, satu orang menjadi penghuni gedung Senayan dan satunya Disk Jockey (DJ) di Jakarta.

Meskipun cerita ini bermula dari nama musholla itu, tetapi sebenarnya saya ingin bercerita tentang 5 pemuda baik-baik di kampungku. Cerita tentang empat pemuda di kosku itu biarlah disampaikan lain kali saja. Nama kampungku Jambu-Baru. Pada mulanya aku merasa malu memiliki nama kampung yang diambil dari nama buah-buahan. Ternyata setelah aku ke Jakarta, ada juga nama kampung dari nama buah-buahan di ibukota Republik Indonesia itu. Sebut saja Kampung Rambutan, atau pertokoan Mangga Dua, bahkan ada markas Brimob disebut Kelapa Dua. Jadi nama kampungku nun terpencil itu, sama saja dengan kampung-kampung di ibukota. Bedanya, kampungku sulit dicari atau tidak dalam peta, kecuali patokannya desa Muara Pulau selalu ada dalam peta republik ini. Nama Muara Pulau sudah ada dalam peta asing abad ke 17-18, ternyata di masa lalu tempat transit tentara Pangeran Antasari dari hulu Barito yang akan membantu Panglima Wangkang menyerang benteng Tatas. Melalui paman Google, aku menemukan peta kampungku yang dibuat oleh Belanda lengkap dengan nama-nama sungai di tengah kampung yang sekarang sungai itu tidak ada lagi. Aku kira cukuplah pengantar tulisan ini, marilah kita mengikuti kisah 5 pemuda di kampung ku.

Foto tahun 2012 oleh Nasrullah menggunakan OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Read More…

Posted by: danummurik | September 3, 2017

WANGI CINTA DI KEMBANG SENJA

Oleh Nasrullah

“Kamu sudah punya pacar?”
“Sudah”
“Oh rupanya aku terlambat”
(Cerita seorang gadis kepada temannya dalam perahu)
Read More…

Posted by: danummurik | June 27, 2017

Barito, The River Sacred

Oleh Nasrullah

Sungai Barito yang membentang dari Air Manitis, Kalimantan Tengah dan bermuara di kota Banjarmasin Kalimantan Selatan sepanjang 800 km memiliki berbagai cerita. Cerita ini tak hanya soal kehidupan ekologis tetapi bagamaina warga memperlakukan sungai sebagai sesuatu yang sakral. Di perbatasan sungai Barito, desa Jambu Baru kecamatan Kuripan kabupaten Barito Kuala dan persimpangan sungai Pulau Petak yang menghubungkan Muara Pulau Kecamatan Tabukan Kabupaten Barito Kuala nilai-nilai sakral, mistis itu ditemukan.
Read More…

Oleh Nasrullah

Biasanya setiap lebaran didahului ucapan di media sosial, melalui smartphone, kali ini saya bersama ibu dan keponakan menemui orang secara langsung. Terjadilah proses identifikasi seperti di bawah ini:

“Ini anak saya, lelaki yang paling bungsu”

“Oh, saya kenal yang tertua saja”

“Iya, anak-anak saya memang besar di kampung orang tempat mereka menuntut ilmu”

Demikianlah percakapan singkat ibu dengan warga kampung tetangga di Kalimantan Tengah, ketika kami berkunjung ke tempat keluarga di sana. Read More…

Posted by: danummurik | June 23, 2017

Malabar, Denyut di Jantung kota Banjarmasin

Hari ini kawasan Malabar nampak lengang, seolah tidak ada tanda bahwa sekarang adalah H-2 lebaran, atau menjelang 1 Syawal 1438 H. Suasana lengang ini sesungguhnya keadaan tidak biasa apabila kilas balik ingatan kita pada penghujung tahun 80-an dan awal 90-an.

Titik Keramaian Malabar di Masa Lalu

Malabar termasuk kawasan Minseng adalah titik crowded para pengunjung dengan pelbagai kegiatan. Tidak jauh dari situ, ada dermaga Pasar Lima tempat bersandar bis air yang melayari tujuan dari dan menuju Puruk Cahu atau Palangkaraya sebelum bergeser ke pelabuhan Banjar Raya atau kapal motor (motor boat) hingga kelotok yang membawa penumpang dari kawasan terdekat.

Malabar adalah titik awal kawasan Jalan Pangeran Samudera, Banjarmasin yang menumpah ruahkan pengunjung, pelancong, peniaga, pebisnis bahkan pelajar dari pelosok Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Tengah yang bertambat di sekitar pelabuhan Pasar Lima. Dari situ, pengunjung bisa ke Pasar Sudimampir, Pasar Harum Manis atau menunaikan shalat lima waktu di masjid Noor. Di sini pulalah menjadi second terminal taksi kuning (angkutan kota) setelah terminal Pasar Hanyar.

Mengenang Malabar tak ubahnya menyenandungkan nyanyian Ahmad Albar, “denyut di jantungmu kota, pusat gelisah dan tawa”. Malabar jantung kota Banjarmasin ini dipompa pada masa Orde Baru ketika perekonomian rakyat sedang sehat dan kuat.

Transportasi sungai mencapai era keemasan karena mengangkut hasil bumi berupa rotan, karet, padi, hingga angkutan penumpang moda transportasi sungai menuju kota Banjarmasin. Kesuksesan kaum urban yang bermigrasi ulang alik antara lain ditandai dengan souvenir dari sekitar Malabar ini.

Sebuah toko pakaian bernama Lima Cahaya  seindah namanya membentuk life style anak muda hingga ke pelosok desa dengan berbagai pakaian branded waktu itu. Sebut saja Walrus, Osella, Oto Ono, Hassenda, Country Fiesta, Palo Alto dan sebagainya.

Toko Lima Cahaya tetap bersinar, meski tidak seterang di masa lalu.

Saya menduga nasib Lima Cahaya akan sama dengan induk semangnya Malabar. Senasib pula dengan Mitra Plaza yang runtuh pasca kerusuhan 23 Mei 1997. Terlebih lagi saat ini berbagai pusat pertokoan besar bermunculan. Ternyata di luar dugaan, Lima Cahaya masih bercahaya meski tidak seterang dulu. Pembeli masih antri di depan kasir untuk membayar pakaian yang akan dibeli.

Saya mengunjungi hingga ke lantai 3. Di sana saya menemukan celana jeans merk legendaris Levi’s 505. Pengguna celana itu adalah kelompok high class karena harganya mencapai jutaan. Ada pula baju cap payung. Saya hampir lupa baju yang menunjukkann kesan high class bermerk Arnold Palmer dengan menyandang motto the Men is Legend. Statement diberikan produsen baju itu secara eksplisit sangat maskulin sekali.

Malabar, Lima Cahaya bahkan pasar-pasar sekitarnya adalah jantung kehidupan kota. Kepada tukang parkir motor, saya bertanya tentang suasana lengang ini. Jawabnya “Pas padatnya hari minggu tadi. Bubuhan hulu sungai pada datangan” (Kepadatan terjadi pada hari minggu tadi. Orang-orang dari Hulu Sungai berdatangan).

Older Posts »

Categories