Saya menghela nafas sambil makan, bukan karena makanan tapi cerita dua orang Profesor ini tentang rasa makanan nasi di luar negeri. Prof Rizali Hadi yang setiap tahun melanglang buana entah keperluan pribadi maupun perjalanan dinas, menceritakan soal nasi di Eropa maupun di Asia.
Saya lebih menyimak bagaimana cita rasa nasi yang sangat lezat di Jepang “benar-benar berkualitas” kata beliau. Jangan lupa, jika Jepang selama ini dalam pandangan umum lebih dominan dengan teknologi, sebenarnya Jepang tidak meninggalkan jati dirinya sebagai negara agraris.
“Nasi di Jepang justru dari beras atau padi organis” terang beliau. Maka teknologi maju, pertanian pun makin berkualitas di negara ke kaisaran ini.
Prof Ersis mengaminkan pernyataan beliau, apalagi pengalaman beliau ke berbagai negara ditambahkan lidah Minangnya tentu mudah sekali menilai kualitas makanan. Sampai di sini saya lantas terfikir dua hal.
Pertama, kita cenderung melupakan akar bangsa. Kemajuan teknologi seolah mengkonversi tradisi menjadi modern. Pertanian mulai ditinggalkan berganti kebun sawit. Dulu petani berlimpah ladi atau beras, sanggup untuk menjaga ketahanan pangan keluarga hingga panen tahun depan.
Kedua, sayang seribu kali sayang, kita cenderung memproduksi hal yang berkualitas rendah. Padi atau beras memang berkualitas premium, tapi tidak diolah dan dipasarkan secara premium pula.
Saya teringat riset dosen saya tentang perkebunan teh. Rupanya teh nomor satu Indonesia di ekspor ke Eropa, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri adalah teh kualitas nomor enam saja.
Saya menyampaikan ke Pak Ersis, yang kemarin kami berdiskusi tentang ada tidaknya armada laut imperium Banjar, bahwa kita masih berwatak inlander. Artinya produk anak negeri masih rendah kualitasnya atau sengaja memproduksi barang berkualitas rendah.
Namun setidaknya, ketika pulang le rumah, saya masih menyimpan siam unus beras premium lokal yang masih bertahan sampai sekarang.
Bandara internasional Jendral Ahmad Yani, Semarang, menjelang keberangkatan ke Banjarmasin
Recent Comments